RTHP Warungboto: Inisiatif Kolaboratif untuk Meningkatkan Keseimbangan Ekosistem dan Kesejahteraan Masyarakat di Kota Yogyakarta

Laju pertumbuhan pembangunan di kota Yogyakarta bertumbuh dengan pesat, meskipun pada akhirnya menimbulkan berbagai macam permasalahan yang harus segera ditangani dengan serius. Seperti halnya di kota Yogyakarta, dengan jumlah populasi penduduk dan mobilitas yang tinggi tentunya akan juga berimbas di sektor lingkungan. Menyempitnya Ruang Terbuka Hijau Publik (RTHP) yang seyogyanya diharapkan sebagai keseimbangan ekosistem kota perlu mendapatkan prioritas yang utama linier dengan prioritas lainnya. 

Menilik Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, setiap kota harus menyediakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar 30 persen dari luas wilayahnya, dengan proporsi 20 persen Ruang Terbuka Hijau Publik (RTHP) yang bersifat terbuka untuk umum, dan 10 persen RTH privat. Kota Yogyakarta baru mencapai 8 persen sehingga perlu untuk didukugn secara bersama-sama agar upaya tersebut dapat terealisasi. 

RTHP sangat memiliki nilai manfaat yang luas bagi masyarakat, pertama, penyeimbang ekosistem kota menjadi paru-paru kota ditengah gempuran padatnya pemukiman, polusi dan lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih, kemudian oksigen dimana dapat untuk meningkatkan kebutuhan oksigen dan penyerapan karbon dioksida.  Kedua, menjadi ruang publik (public sphere) tempat terjadinya pertukaran informasi, edukasi, silaturahmi dan sosialisasi, udar gagasan, olahraga serta lain lainnya, ketiga, tempat bergulirnya ekonomi dengan rekreasi/ruang bermain keluarga, pariwisata dengan kuliner, kerajinan, seni budaya dan industri kreatif lainnya. 

Berikut Rancangan Warungboto:

 

Oleh karena itu, kami menginisiasi terbangunnya  RTHP Warungboto, lahan yang kepemilikannya menjadi milik pemerintah kota Yogyakarta. Tempat ini diharapkan menjadi salah satu pilot project bagi maksimalisasi fungsi dan manfaat RTHP bagi masyarakat. Ditengah padatnya penduduk, RTHP Warungboto diharapkan dapat hadir menjadi ruang publik yang pernah hilang di masyarakat. Harapan ini tidak akan dapat hadir dengan sendirinya. Diperlukan Collaborative Governance, RTHP tidak bisa dilaksanakan oleh satu OPD saja. Akan tetapi, memerlukan kerjasama lintas OPD. Dengan memperhatikan tahapan analisisnya, mulai dari penilaian atau assessment, menginisiasi dari pemetaan kondisi, kerjasama dan kesepakatan, serta bagaimana implementasinya.  Atau dalam kacamata pentahelix, dapat melibatkan 5 unsur yaitu kantor (pemerintah), kampung/ komunitas, korporat (swasta), kampus (akedemisi) dan kelengkapan sebagai public sphere atau ruang publik adalah juga dukungan Koran (media/ publikasi media). Semoga harapan ini dapat terwujud, dengan semua pihak berkomitmen dan berada dalam satu frekuensi yang sama dalam mewujudkan cita-cita bersama dan bermuara kepada kepentingan publik serta kesejahteraan masyarakat.

Susanto Dwi Antoro, S.E.
Ketua Komisi B DPRD Kota Yogyakarta